Beritacom – Jakarta – Substansinya akan fokus pada 3 strategi meliputi peningkatan pemahaman tentang bisnis dan HAM; penyelarasan regulasi dan kebijakan terkait; dan mendorong akses pemulihan terhadap korban dugaan HAM akibat aktivitas bisnis.
Pemerintah terus berupaya agar kegiatan bisnis di Indonesia bisa mengutamakan nilai-nilai HAM. Salah satu upaya itu dilakukan dengan menyusun Strategi Nasional (Stranas) Bisnis dan HAM. Kepala Seksi Kerja Sama Bilateral Kementerian Hukum dan HAM, Ibrahim Reza, mengatakan kebijakan ini sudah digagas sejak tahun 2018. Stranas Bisnis dan HAM ini merupakan mandat dari Prinsip-prinsip untuk Panduan Bisnis dan HAM yang diterbitkan PBB (UNGPs).
UNGPs telah disepakati untuk diadopsi oleh seluruh negara anggota Dewan HAM PBB termasuk Indonesia. Ibrahim menjelaskan ada 3 pilar utama UNGPs yakni tanggung jawab negara untuk melindungi HAM; tanggung jawab perusahaan menghormati HAM; dan akses terhadap pemulihan. UNGPs memang tidak menyebut Stranas, tapi ini merupakan rekomendasi Badan Kerja HAM PBB agar negara anggota punya dokumen rencana aksi bisnis dan HAM dan di Indonesia dilaksanakan melalui Stranas Bisnis dan HAM.
Penyusunan Stranas Bisnis dan HAM ini melibatkan pemangku kepentingan terkait yakni pemerintah, pelaku usaha atau sektor bisnis, dan masyarakat sipil serta mengadopsi UNGPs. Hasilnya, substansi draft Stranas Bisnis dan HAM fokus pada 3 strategi. Pertama, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan karena selama ini pemahaman isu bisnis dan HAM tergolong minim.

Kedua, harmonisasi dan penyelerasan regulasi serta kebijakan terkait bisnis dan HAM. Ketiga, mendorong akses pemulihan terhadap korban dugaan pelanggaran HAM akibat aktivitas atau operasional bisnis. “Tiga strategi itu yang dikedepankan dalam Stranas Bisnis dan HAM,” kata Ibrahim Reza dalam diskusi secara daring bertajuk “Perkembangan Penyusunan Strategi Nasional Bisnis dan HAM di Indonesia”, Kamis (11/11/2021).
Ibrahim memberi beberapa contoh bisnis dan HAM, seperti pemenuhan hak-hak ketenagakerjaan di perusahaan; tempat kerja layak dan tidak membahayakan, misalnya ada ruang laktasi bagi pekerja/buruh yang baru melahirkan; dan akses bagi pekerja/buruh penyandang disabilitas. “Tahun ini diharapkan sudah ada dokumen final Stranas Hukum Bisnis dan HAM,” kata dia.
Seperti diketahui, sebelumnya pemerintah telah menerbitkan rencana aksi nasional HAM (RanHAM) periode 2021-2025. Ibrahim menjelaskan RanHAM tersebut memuat beberapa isu terkait bisnis dan HAM, seperti meningkatkan pemberdayaan perempuan; akses perempuan untuk bekerja atau berusaha serta meningkatkan akses perempuan terhadap permodalan. Ada juga isu yang berkaitan dengan akses pekerjaan bagi penyandang disabilitas.
“Stranas Bisnis dan HAM ini lebih fokus lagi bukan hanya menjangkau kelompok rentan, tapi juga seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.
Substansinya akan fokus pada 3 strategi meliputi peningkatan pemahaman tentang bisnis dan HAM; penyelarasan regulasi dan kebijakan terkait; dan mendorong akses pemulihan terhadap korban dugaan HAM akibat aktivitas bisnis.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Iman Prihandono, mengatakan sejak UNGPs terbit 2011 perkembangannya di seluruh dunia sangat pesat. Apalagi UNGPs satu-satunya instrumen yang disepakati semua anggota Dewan HAM PBB. UNGPs mendorong setiap negara membentuk rencana aksi nasional. Negara yang paling awal memiliki rencana aksi nasional Bisnis dan HAM yakni Belanda dan Jerman.
Tercatat saat ini sedikitnya ada 20 negara yang memiliki rencana aksi nasional Bisnis dan HAM, salah satunya Thailand. Selain itu, banyak juga negara yang sudah mengadopsi UNGPs dalam regulasinya, seperti di Inggris memiliki UU Perbudakan Modern dan beberapa negara yang memiliki regulasi serupa seperti Australia, Perancis, Jerman, dan Belanda.
Bahkan, beberapa negara seperti Ekuador dan Kolombia punya ide untuk meningkatkan level UNGPs agar sifatnya mengikat. Baginya, UNGPs dinilai belum cukup untuk membuat korporasi bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan. Alih-alih menggunakan istilah rencana aksi, Indonesia memilih Stranas Bisnis dan HAM. Kendati demikian upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk melaksanakan mandat UNGPs semakin baik ketimbang beberapa tahun sebelumnya.
“UNGPs itu memandatkan rencana aksi nasional, sehingga diharapkan pemerintah bisa membuat regulasi dan kebijakan untuk memastikan tidak ada pelanggaran HAM yang dilakukan korporasi,” ujar Iman mengingatkan.
Menurut Iman, dengan membentuk Stranas Bisnis dan HAM, pemerintah bisa mengetahui mana sektor bisnis yang rentan pelanggaran HAM. Kemudian mengambil langkah untuk mencegah dan menanganinya. “Agar Stranas ini bisa berjalan baik, maka harus diterima oleh pemangku kepentingan. Caranya harus ada partisipasi (publik, red) yang berarti dalam penyusunan Stranas tersebut.”
Deputi Direktur Elsam, Andi Muttaqien, mengatakan Stranas ini dibentuk agar ada standar ideal bagi operasional bisnis di masa depan. Pemerintah harus melihat apa yang menjadi prioritas untuk diselesaikan terlebih dulu karena setiap sektor bisnis perlu pendekatan yang berbeda-beda.
“Sekarang menjadi keharusan bisnis besar yang memiliki pasar internasional untuk patuh terhadap nilai-nilai HAM. Misalnya, kayu yang berasal dari Indonesia diambil secara ilegal dari hutan alam, maka tidak akan lulus uji sertifikasi dan pembeli yang memiliki komitmen HAM tidak akan membeli kayu tersebut dan ini jelas merugikan pelaku bisnis,” ujarnya.
Andi menyebutkan pihaknya sudah menyampaikan sejumlah masukan untuk Stranas Bisnis dan HAM. Misalnya, mendorong agar menerapkan standar yang memadai mengingat UNGPs sudah ada sejak 10 tahun lalu. Bahkan tren internasional saat ini mendorong agar uji tuntas HAM sifatnya wajib. “Jika standar kita lebih rendah, kami khawatir situasinya akan jauh dari perkembangan internasional saat ini,” katanya. (Arah)
(kutipan hukumonline.com)
Tinggalkan Balasan